Beranda | Artikel
Belajar Tauhid dari Surat Al-Fatihah (bagian 2)
Rabu, 12 Agustus 2015

cfe22502b03b40537fb5f5b8dd626805

Bismillah.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, surat Al-Fatihah telah menyimpan pokok-pokok akidah Islam dan ketauhidan.

Diantaranya, sebagaimana sudah disampaikan dalam tulisan terdahulu, bahwa di dalamnya terkandung keimanan kepada Allah dalam hal rububiyah-Nya. Kita meyakini bahwa Allah adalah Rabb alam semesta. Allah adalah pencipta, penguasa dan pengatur alam. Allah memiliki nama-nama yang terindah dan sifat-sifat yang maha mulia. Kita wajib bersyukur kepada Allah atas segala nikmat yang Allah berikan kepada kita.

Bentuk syukur itu adalah beribadah dan tunduk kepada aturan dan hukum-hukum-Nya. Adalah suatu hal yang mustahil tatkala Allah menjaga urusan dunia manusia yang dengan itu mereka tetap bisa hidup dan mendapatkan kebutuhan dunia mereka kemudian Allah justru membiarkan manusia hidup tanpa bimbingan demi kehidupan akhirat dan kebahagiaan mereka yang sejati.

Oleh sebab itulah diantara konsekuensi rububiyah Allah ialah dengan Allah mengutus para rasul di muka bumi ini. Dimana para rasul itu menjelaskan kepada umat mengenai tata cara beribadah yang benar kepada Allah. Dan sebagai konsekuensi rububiyah itu pula Allah menurunkan kitab-kitab yang menjelaskan kepada mereka ajaran-ajaran Allah.

Seorang muslim akan bisa merasakan manisnya iman tatkala dia telah ridha Allah sebagai Rabbnya. Sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan merasakan manisnya iman orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim)

Ridha Allah sebagai Rabb mengandung makna iman kepada tauhid rububiyah dan tunduk kepada hukum-hukum-Nya. Oleh sebab itu orang-orang ahli kitab yang berlebihan dalam mengikuti pendeta dan rahib disebut dalam Al-Qur’an ‘telah menjadikan mereka sebagai Rabb-Rabb [tandingan] bagi Allah’ padahal secara fisik mereka tidak bersujud kepada pendeta atau rahib.

Akan tetapi tatkala mereka menempatkan pendeta dan rahib dalam kedudukan penetap syari’at maka pada hakikatnya mereka telah mempersekutukan Allah dalam hal penetapan hukum. Oleh sebab itu Allah menafikan iman dari orang-orang yang tidak mau berhukum kepada rasul. Allah berfirman (yang artinya), “Sekali-kali tidak, demi Rabbmu, mereka tidaklah beriman sampai mereka menjadikanmu -Muhammad- sebagai hakim/pemutus perkara dalam apa-apa yang diperselisihkan diantara mereka itu, kemudian mereka tidak mendapati di dalam hati mereka rasa sempit dari apa yang telah kamu putuskan, dan mereka pasrah dengan sepenuhnya.” (An-Nisaa’ : 65)

Allah adalah Rabb alam semesta ini, oleh sebab itu Allah menetapkan hukum kauni/takdir, hukum syari’at, dan hukum pembalasan atas amal-amal. Adapun hukum kauni/takdir maka wajib bagi hamba untuk berhusnuzhan kepada Allah atas segala ketetapan dan takdir-Nya, bersabar atas musibah yang menimpanya, dan memohon ampun serta bertaubat dari segala kesalahannya yang itu menjadi sebab turunnya musibah dan bencana.

Adapun hukum syari’at maka sudah menjadi kewajiban umat manusia berhukum dengannya, karena tidak ada hukum yang lebih baik daripada hukum Allah. Melenceng dari hukum-hukum syari’at -dalam masalah apapun- adalah sebab kerusakan di muka bumi dan menyebabkan kesengsaraan hidup di dunia dan di akhirat nanti.

Adapun hukum pembalasan, maka Allah kelak akan memberikan balasan seadil-adilnya atas segala keburukan dan kejahatan manusia ketika hidup di dunia. Karena Allah lah yang berkuasa pada hari pembalasan, yaitu hari kiamat. Allah akan menghisab dan menimbang amal-amal mereka. Allah yang akan memberikan balasan dan ampunan kepada orang beriman. Allah pula yang memberikan siksaan dan hukuman kepada kaum yang durhaka.

Dari sinilah, maka semestinya seorang muslim banyak mengingat akan datangnya kematian. Hari yang mengantarkan dirinya ke alam akhirat. Apakah kuburnya menjadi salah satu taman diantara taman-taman surga, ataukah justru menjadi salah satu jurang diantara jurang-jurang neraka.

Tsabit Al-Bunani rahimahullah -seorang tabi’in- mengatakan, “Beruntunglah seorang yang memperbanyak mengingat kematian; karena tidaklah seorang memperbanyak mengingat kematian kecuali pasti akan tampak pengaruh hal itu di dalam amalnya.”

Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Wahai anak Adam, sesungguhnya kamu ini hanyalah kumpulan hari-hari. Setiap kali hari berlalu maka itu artinya lenyap sudah sebagian dari dirimu.”

Konsekuensi pokok dari iman kepada rububiyah Allah ini adalah beribadah kepada-Nya semata. Sebagaimana yang telah diperintahkan Allah dalam firman-Nya (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian; yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (Al-Baqarah : 21)

Tidak ada gunanya beriman kepada rububiyah Allah apabila tidak disertai dengan mengesakan Allah dalam beribadah. Oleh sebab itu Allah mengawali perintah Islam dengan perintah bertauhid sebelum yang lainnya. Allah berfirman (yang artinya), “Padahal, mereka tidaklah diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama secara hanif, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus.” (Al-Bayyinah : 5)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Hak Allah atas hamba adalah hendaklah mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Oleh sebab itu setelah menyebutkan tentang hal-hal yang berkaitan dengan rububiyah dan asma’ wa shifat-Nya, Allah pun mengajarkan kepada kita untuk mengikrarkan tauhid uluhiyah di dalam doa kita ‘iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’. Artinya, “Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.”

Di dalam kalimat/ayat tersebut terkandung intisari dari ajaran seluruh rasul; yaitu beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan penghambaan kepada selain-Nya. Inilah makna dari kalimat laa ilaha illallah. Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah Kami mengutus sebelum kamu seorang rasul pun kecuali Kami wahyukan kepadanya; bahwa tiada ilah/sesembahan -yang benar- selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (Al-Anbiyaa’ : 25)

Allah juga berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (An-Nahl : 36)

Seorang muslim yang telah mengikrarkan kalimat ini -iyyaka na’budu- maka dia telah menetapkan bahwa sesungguhnya hanya Allah yang boleh diibadahi. Adapun selain Allah semulia dan seagung apapun maka tidak boleh menerima bentuk ibadah. Apakah mereka itu malaikat, nabi, wali, apalagi batu dan pohon. Ibadah apa pun hanya boleh dipersembahkan kepada Allah; apakah itu doa, sembelihan, nadzar, istighotsah, dan lain sebagainya.

Dengan kalimat ini pula seorang mengikrarkan bahwa semua ibadahnya hanya layak diberikan kepada Allah bukan untuk mencari sanjungan dan kedudukan di mata manusia. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (Al-Kahfi : 110)

Oleh sebab itu para ulama menjelaskan bahwa barangsiapa yang benar-benar mewujudkan kandungan dari kalimat iyyaka na’budu maka ia akan terbebas dari penyakit riya’. Riya’ adalah penyakit hati yang sangat berbahaya; karena riya’ termasuk syirik dan menghapuskan amalan. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami hadapi segala amal yang dahulu mereka lakukan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan.” (Al-Furqan : 23)

Allah berfirman dalam hadits qudsi, “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang melakukan suatu amal seraya mempersekutukan dengan-Ku selain-Ku maka Aku tinggalkan dia dengan syiriknya itu.” (HR. Muslim)


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/belajar-tauhid-dari-surat-al-fatihah-bagian-2/